MENYELAMI KEHENDAK (AL-IRADAH) MANUSIA
Al-Iradah (kehendak) itu harus dikembalikan dahulu yang pertama kepada niat. Niat dikembalikan kepada ilmu. Punya niat baik, punya kehendak baik, tapi tidak mempunyai ilmu juga sulit. Mempunyai ilmu, mempunyai kehendak dan mempunyai niat yang baik tapi tidak didasari khaufun billah (takut kepada Allah), juga susah. Khauf (takut) kepada Allah Swt. bukan karena nerakaNya. Cinta kepada Allah bukan karena surgaNya. Tapi cinta kepada yang menciptakan surga dan neraka lebih besar daripada cinta kepada surgaNya atau takutnya pada neraka. Itu diantaranya khauf.
Dan khauf ini harus selalu kita gandeng. Sebab khauf tanpa ilmu, maksudnya khauf jarang juga orang yang mengetahuinya. Tapi kalau khauf mempunyai ilmu, berbeda. Karena kaitannya khauf juga tidak terlepas dari:
أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَاَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ
“Engkau beribadah kepada Allah seolah-olah melihatNya, jika tak mampu demikian maka pasti Dia melihatmu.”
Merasa bersembah sujud, menyembah sujud kepada Allah Swt. Kalau toh tidak mampu karena ini kelas berat merasa setiap harinya dilihat oleh Allah Swt. Dari mulai kehendak kita, kemauan kita, dlsb. tidak terlepas dari pandangan Allah Swt. Bilamana khauf ini tumbuh maka akan memperbaiki kehidupan manusia itu sendiri karena takutnya kepada Allah Swt. Tapi khauf harus digandeng selalu dengan raja’. Selalu yang mengharapkan tidak pernah lepas, tidak satu pun yang diharapkan dan dikehendaki terkecuali:
إِلَهِيْ أَنْتَ مَقْصُوْدِيْ
“Hanyalah kepadaMu ya Allah kami mengharap.”
Kalau setiap insan mukmin bisa mengamalkan إِلَهِيْ أَنْتَ مَقْصُوْدِيْ وَرِضَاكَ مَطْلُوْبِيْ (raja’ selalu kepada Allah Swt.), saya kira tidak ada mukmin yang faqir. Karena apa? Dekat dengan yang menciptakan surga. Cinta kami kepada Allah Swt. lebih besar daripada surgaNya. Begitupula cinta kami kepada Baginda Nabi Saw. Lebih-lebih cinta kita kepada Baginda Nabi Saw. bagian dari syukur kepada Allah Swt.
Karena apa? Kita menjadi umat Islam, orang yang beriman, bisa membedakan mana yang haq dan batil, mana kalamullah, dan mana yang halal-mana yang haram. kita bisa berbakti pada orangtua, taat pada segala perintah Allah, dlsb., tanpa mengenal Baginda Nabi Saw. mana mungkin kita kenal itu semuanya!? Maka dengan dilahirkannya Baginda Nabi Saw., sejauh mana kita mengenal Baginda Nabi Saw. Karena tanpa kelahiran Nabi Saw., mustahil ada bi’tsah ataupun risalah. Dan tidak mungkin Islam dan al-Quran akan diturunkan karena tidak ada yang di-maulud-kan. Karena ada yang di-maulud-kan itulah adanya bi’tsaturrasul wannubuwwah, nuzul al-Quran dan Islam diturunkan oleh Allah Swt. kepada Baginda Nabi Besar Saw.
Sejauh mana kita mengucapkan terimakasih kita kepada Baginda Nabi Saw.? Seandainya kita kaya, gunung segala gunung dijadikan emas, untuk memberikan hadiah kepada Baginda Nabi Saw. atau membayar budi, jangan dikira cukup. Belum! Sebab,
تَمَامُ النِّعْمَةِ مَوْتٌ عَلَى الْإِيْمَانِ وَالْإِسْلَامِ
“Kenikmatan paripurna adalah mati membawa iman dan islam.” Mana mungkin mendapatkan tamamunni’mah mautun ‘alal iman wal islam sedangkan sama Baginda Nabi Saw. tidak mencintai.
Satu hadits diterangkan:
أَوَّلُ مَا يَسْأَلُنِيْ فِيْ قَبْرِيْ عَنِّيْ
Pertamakali kelak di kubur yang ditanyakan sebelum ditanya “man rabbuka”, yang ditanya kenal tidak kamu dengan Muhammad Saw. Kalau kenal pasti bisa menjawab man rabbuka waman nabiyyuka, dst. Tapi yang tidak kenal mana mungkin akan bisa menjawab.
Para auliya (wali Allah) tidak takut karena kehilangan istrinya, dunianya atau anak-anaknya, dlsb. Tidak. Para beliau itu cuma satu yang ditakuti. Apa? Kalau keluar dari dunia fana ini mautun ‘ala su-il khatimah (dalam keadaan mati suul khatimah). Itu yang ditakuti oleh semua auliyaillah. Bukan karena husnul khatimah lalu dapat surga, tidak. Ingin mautun ‘ala husnil khatimah karena surga, tidak. Mautun ‘ala husnil khatimah karena kecintaannya kepada Allah Swt., (dan) tidak sampai jauh dirinya dengan Allah Swt. Sebab kalau sampai suul khatimah akan jauh dengan Allah Swt. dan RasulNya.
Para beliau mujahadahnya tiap malam luar biasa. Bukan mujahadah baca hizib, baca ini dan itu supaya ditembak tidak mempan, dibacok tidak mempan. Atau baca wiridan supaya mahabbah atau dapat rejeki yang banyak. Itu nomor tiga, empat, atau lima. Tapi yang diperhatikan oleh para auliya semuanya takut kalau dirinya keluar dari dunia ini tidak sempat membawa nikmat iman dan Islam. Karena itu dicap nantinya sebagai orang yang tidak mengerti syukur, berterimakasih kepada Baginda Nabi Saw.
مَنْ لَمْ يَشْكُرِ النَّاسَ لَمْ يَشْكُرِ اللهَ
“Siapa tidak berterimakasih kepada manusia, sama halanya dia tidak berterimakasih kepada Allah Swt.”
Disinilah maqamatil khauf warraja’ (kedudukan takut dan harap) bertalian terus. Disinilah peran al-iradah, mengharap atau menghendaki, “Ya Allah ya Rabb, janganlah Engkau tinggalkan sekejap mata pun dari pandanganMu. Jangan Engkau tinggalkan pandanganku dari pandanganMu ya Allah. Dalam perilakuku, langkah kakiku, jangan sampai aku ini tertinggal dari taufiq dan hidayahMu.” Inilah orang yang (memiliki) khauf, iradah dan raja’ kepada Allah Swt. Selalu mendampingi, mengawal kehidupannya.
Kalau sudah maqamaturraja’ tumbuh maqamatusshiddiq, benar. Benar (shiddiq) fil qulub, wasshiddiq fillisan, wasshiddiq finnadzar, wasshiddiq fissama’. Kalau orang sudah mempunyai sifat shiddiq bukan benar niatnya saja, mata dan lisannya pun akan ikut shiddiq. Akan benar, dia takut mengeluarkan se-ayat dua ayat, dia takut mengeluarkan fatwa per-fatwa. Sebab sebelum mereka yang mendengarkan dituntut di hadapan Allah, orang itu dahulu yang menyampaikan fatwa. Iya kalau benar, kalau tidak? Mas-ul fi yaumil qiyamah (akan dipertanggungjawabkan di hari kiamat). Jangan dikira mudah. Itulah para ulama shalihin, luar biasa.
Kalau sudah shiddiq matanya, matanya ini diajak benar, mau benar. Kalau diajak salah, tidak mau (mengikuti) salah. Karena apa? Sudah kebiasaan benar. Telinga pun,
مِنْ نُوْرِ الْإِيْمَانِ يَتَلَأْلَأْ
“Bercahaya disinari iman.” Untuk mendengarkan yang jelek, mendengarkan yang tidak baik, telinga ini tidak akan mau. Karena apa? Shiddiqnya sudah sampai ke telinga dan matanya, apalagi tutur katanya.
Kalau sudah shiddiq, tahu persis bagaimana. Walaupun toh ini benar tapi akibatnya membuka aib saudara mukmin kita sendiri, cara menyampaikannya pun berbeda. Karena, walaupun benar adakalanya membuka aibnya orang.
Contoh –maaf ibu-ibu dan bapak-bapak tidak usah ditertawakan karena saya tidak suka ditertawakan-, ada bapak atau oknum lah umpanya. Kalau di rumah sendiri itu biasanya pakai sarung yang seenaknya saja sambil nonton tivi. Tidak tahu auratnya kelihatan. Diantara teman-temannya yang duduk sedang nonton tivi tahu kalau orang ini auratnya terbuka karena sarungnya terbuka. Kalau orang yang menyampaikan benar ini tidak tepat, akan membuka aibnya. “Hei mas, sarungmu terbuka, auratmu kelihatan.” Orang yang tidak mendengar akhirnya jadi melihat dan mendengar semuanya. Membenarkan, menyampaikan pendapat, tapi membuka aibnya orang.
Tapi kalau Rasulullah Saw., menyampaikan benar justeru menghormati orang yang dibenarkan (diluruskan). Itulah hebatnya menunjukkan rahmatan lil ‘alamin. Kalau orang yang mengikuti jejak sunnah Baginda Nabi Saw., adabnya begitu tahu langsung (bilang), “Mas mas, bangun sebentar, saya ada urusan (perlu)”. Begitu ia bangun, tertutup kan auratnya. Begitu tertutup auratnya, dia ajak keluar, “Ada apa yah?” dijawab, “Sorry, tadi kelihatan auratnya.” “Ya, ya, betul. Terimakasih, terimakasih,” ucapnya sangat berterimakasih.
Ada juga orang nahi munkar –umpamanya- ada seseorang yang merokok kretek, ada cengkehnya. Kebetulan dia pakai sarung. Begitu dihisap, Seppp”, (ada yang) jatuh ke sarungnya. Kira-kiranya kan cepat terbakarnya. Betul ndak? Coba kalau kita menyampaikannya, “Mohon maaf Pak, itu ada latu-nya.” Malah akan terbakar duluan, habis. Tapi begitu tahu ada api di sarungnya, langsung saja “Maaf!” sambil ditepuk. Padahal ditepuk, sakit, tapi (karena) sarungnya selamat yang ditepuk malah berterimakasih. Itu hebatnya rahmatan lil ‘alamin. Menirunya susah.
Tapi adakalanya mau menyampaikan yang benar, juga salah padahal benar. (Misal) Minum kopi, tak tahunya tempat kopinya (pisin) masih basah ada air kopinya. Begitu akan diangkat, (ditepuk) “Hei maaf maaf,” malah tumpah jadinya. Ada tempatnya yang harus keras dan ada tempatnya yang harus lunak. Orang-orang yang demikian setelah mewarnai dengan ash-shiddiq.
Yang keempat haya’, malu kepada Allah Swt. Kami mendapat fadhal dari Allah Swt. dijadikan semulia-mulianya umat. Umatnya siapa? Afdhalul makhluqat (paling mulianya makhluk Allah Swt.), sayyidul anbiya’ wal mursalin. Mesti bertanya pada dirinya, “Ya Allah ya Rabb, apakah kami ini golongan orang kelak yang akan memalukan Baginda Nabi Saw. di hadapanMu ya Allah? Jangan sampai aku menjadi umat yang akan memalukan Baginda Nabi Saw., memalukan guru-guruku, memalukan kedua orangtuaku,” dlsb. Itu al-haya’.
Sampai dengan perbuatan, muamalah yaumiah (perilaku keseharian), kalau haya’ kepada Rasulullah Saw., “Malu ah masa pakai baju tangan kiri dulu, malu dong pada Rasulullah.” Disamping juga tangan kanan itu sunnah. Itu diantaranya. Sampai mau berbicara yang kurang baik atau seronok, dia akan berpikir, “Malu ah, Rasulullah tidak berbicara yang demikian.”
Kalau haya’ (malu )nya sudah jadi, al-mahabbah (cinta)nya luar biasa. Kalau sudah mahabbah betul-betul kepada Allah Swt., ridha yang ada. Tapi ini kelas berat Pak, diberi sakit, “Biarin! Yang memberi sakit yang saya cintai koq.” (Tetap) Ikhtiar, karena menetapi perintah, bukan karena apa-apa. Diberi penyakit, karena diniati ibadah, diterimanya dengan senang. Karena apa? Karena yang memberi penyakit adalah yang paling dicintai. Berat sekali, kelihatannya sepele.
Kalau tidak cepat-cepat kita belajar dalam ilmunya hati, apa yang ada di dalam batin al-Quran, di dalam dunia tasawuf, kita tidak sulit untuk mempelajari yang demikian. Dan (demi) untuk bekal selanjutnya dan selanjutnya.
(*Ibj. Ditranskrip dari ceramah Maulana
Habib Luthfi bin Yahya, Pengajian Jum’at Kliwon 11 Nov. 2016: https://youtu.be/HPF9GDUV508).