Halaman

Kualitas Kopi yg penting, bukan cangkirnya.

Ayo Ngopi....

Dalam sebuah acara reuni, beberapa alumni menjumpai guru sekolah mereka dulu. Melihat para alumni tersebut ramai-ramai membicarakan kesuksesan mereka, guru tersebut segera ke dapur dan mengambil seteko kopi panas dan beberapa cangkir kopi yang berbeda-beda. Mulai dari cangkir yang terbuat dari kristal, kaca yang mahal, melamin sampai plastik murah.

Guru tersebut menyuruh para alumni untuk mengambil cangkir dan mengisinya dengan kopi. Setelah setiap alumni selesai mengisi cangkirnya dengan kopi, guru berkata, "Perhatikanlah bahwa kalian semua memilih cangkir yang bagus dan kini yang tersisa hanyalah cangkir yang murah dan tidak menarik".

"Memilih hal yang terbaik adalah wajar dan manusiawi. Namun persoalannya, ketika kalian tidak mendapatkan cangkir yang bagus perasaan kalian mulai terganggu. Kalian secara otomatis melihat cangkir yang dipegang orang lain dan mulai membandingkannya. Pikiran kalian terfokus pada cangkir, padahal yang kalian nikmati bukanlah cangkirnya melainkan kopinya".

"Hidup kita seperti kopi dalam analogi tersebut di atas, sedangkan cangkirnya adalah pekerjaan, jabatan dan materi yang kita miliki. Jangan pernah membiarkan cangkir mempengaruhi kopi yang kita nikmati. Cangkir bukanlah yang utama. Kualitas kopi itulah yang terpenting".

"Jangan berpikir bahwa materi yang melimpah, karier yang bagus dan pekerjaan maupun usaha yang mapan merupakan jaminan kebahagiaan. Itu konsep yang keliru."

Kualitas hidup kita ditentukan oleh "Apa yang ada di dalam" bukan "Apa yang kelihatan dari luar". Apa gunanya kita memiliki segalanya, namun kita tidak merasakan damai, sukacita dan kebahagiaan di dalam kehidupan kita? Hal itu akan sangat menyedihkan, karena sama seperti kita menikmati kopi basi yang disajikan di sebuah cangkir kristal yang mewah dan mahal.

Kunci menikmati kopi bukanlah seberapa bagus cangkirnya, tetapi seberapa bagus kualitas kopinya. Mari kita menikmati secangkir kopi kehidupan yang berkualitas.

Enam Rahasia Allah swt

Enam Rahasia Allah

Imam Nawawi AlBantany pengarang kitab Nashoihul Ibad menuliskan di dalam bukunya, ada enam rahasia Allah atas rahasia lainnya :

1. Allah merahasiakan ridho-Nya atas taat seorang hamba

Maksudnya ialah Allah memerintahkan kepada hamba-Nya untuk senantiasa taat kepada Allah, sekecil apapun taat yang dilakukan oleh seorang Hamba pastilah akan diberi ganjaran oleh Allah SWT,  Allah merahasiakan ridho-Nya dalam ketaatan yang dilakukan oleh seorang hamba, agar hamba itu mau berusaha menambah ketakwaan kepada Allah meskipun pada hal yang sederhana, kita tidak pernah tahu kapan Allah memberikan ridho-Nya, bisa boleh jadi pada hal-hal yang kita anggap kecil dan sederhana.

2. Allah merahasiakan murka atas maksiat seorang Hamba

Ketika umat Nabi Musa melakukan kemaksiatan, maka saat itu juga balasan Allah baik berupa siksa maupun azab akan ditimpakan langsung, begitu juga umat nabi-nabi lainnya, tapi beruntunglah kita yang menjadi umat Nabi Muhammad SAW, karena setiap hari kita berbuat maksiat, melanggar perintah dan mengerjakan larangan Allah, namun Allah tidak langsung menimpakan azab dan musibah kepada kita. Mengapa Allah merahasiakan murka-Nya atas maksiat yang kita kerjakan, ini berarti ketika hidup kita harus selalu berhati-hati dan selalu waspada, jangan-jangan Allah SWT murka manakala hari ini kita berbuat bohong, jangan-jangan Allah murka manakala kita melanggar rambu lalu lintas, menyebrang di sembarang tempat, sholat tidak tepat waktu, tanpa sengaja tergelincir dalam membicarakan orang lain, lupa membaca basmalah sebelum melakukan aktifitas, hal inilah sepantasnya kita harus tanamkan, ketika kita sudah mampu berhati-hati dan waspada takut-takut kalau Allah murka atas sikap dan perilaku kita, maka sesungguhnya kita telah menjadi mukmin yang sejati.

3. Allah merahasiakan malam Lailatul Qadar di dalam bulan ramadhan

Ramadhan adalah bulan yang menyimpan seribu hikmah dan pahala, apapun yang kita kerjakan di bulan suci ini kalau kita niatkan semata-mata  untuk mencari keridhoan Allah maka akan dilipatgandakan pahalanya. Pada sepuluh malam terkahir di Bulan Ramadhan kita ketahui bersama bahwa Allah akan menurunkan malam Lailatul Qadar. Kenapa sih Allah harus merahasiakannya??? Tentu jawabannya agar kita mau bersungguh mencari dan mendapati malam Lalilatul Qadar dengan penuh semangat.

4. Allah merahasiakan Wali-Nya diantara manusia

Hikmahnya agar kita tidak mudah meremehkan dan menyepelekan orang yang ada di sekitar kita, boleh jadi orang yang selama ini kita anggap biasa saja, bahkan mungkin dia bukan dari golongan orang kaya ataupun keturunan terpandang, tetapi karena amalan ibdahnya yang begitu ikhlas dan tulus dikerjakan ternyata dia adalah seorang kekasih Allah (Wali Allah), maka kita tidak pernah diberi tahu siapa saja yang menjadi kekasih Allah di muka bumi ini selain Para Nabi dan Rasul Allah yang telah terpilih.

5. Allah merahasiakan maut di dalam umur

Adakah makhluk di muka bumi ini yang tahu kapan dia akan meninggal??? Jawabannnya sudah pasti tidak ada yang tahu. Bahkan rasululullah saja tidak diberitahu pada usia dan dimana dia akan dijemput oleh malakal maut. Oleh karena itu kita yang masih diberikan umur panjang oleh Allah hendaklah menjadikan maut itu sebagai nasehat yang sangat berarti, kapan maut itu akan datang kita tidak pernah tahu, apakah hari ini, esok, lusa minggu depan, bulan depan ataukah tahun depan, Hanya lah Allah yang maha tahu.

6. Allah merahasiakan Shalat yang utama diantara sholat-sholat wajib

Ternyata di setiap hari yang kita lalui ada sholat utama yang diberikan oleh Allah kepada semua hamba-Nya, tugas kita adalah mencari waktu-waktu utama itu dengan bersungguh-sungguh mengerjakan sholat lima waktu.

http://isl4h.wordpress.com



Kisah Uang 100 Ribu

*Kisah Uang 100 Ribu*

Seorang guru mengangkat uang 100 ribu rupiah di depan murid-muridnya lalu ia bertanya "siapa yang mau uang ini?"

Semua murid mengangkat tangan mereka, tanda menginginkan untuk mau..

Kemudian guru itu meremas uang 100 ribu itu dengan tangannya dan kembali bertanya "sekarang siapa yang mau uang ini?"

Kembali semua murid mengangkat tangan mereka.

Selanjutnya ia melemparkan uang itu ke lantai dan menginjak2nya dengan sepatunya sampai uang itu jadi kotor. Setelah betul2 kotor oleh debu ia berkata "sekarang siapa yang mau uang ini?"

Tetap saja  seluruh murid mengacungkan tangan mereka.

Saat itulah sang guru memasukkan pelajarannya

"Inilah pelajaran kalian hari ini, betapapun kalian berusaha mengubah bentuk uang ini tidak akan berpengaruh kepada nilainya. Bagaimanapun kalian di hinakan, diremehkan, direndahkan, dilecehkan, dinistakan ataupun bahkan di fitnah, kalian harus tetap yakin bahwa nilai hakiki kalian tidak akan pernah tersentuh. Ketika itu kalian akan tetap berdiri kokoh setelah terjatuh. Kalian akan memaksa seluruh orang untuk mengakui harga diri kalian."

"Bila kalian kehilangan kepercayaan terhadap diri kalian sendiri dan nilainya, saat itulah kalian kehilangan segala-galanya"

Fitnah

*Meski Telah Kau Sesali, Fitnah Tak Dapat Kau Tarik Kembali*

Di suatu kesempatan “Kiai, maafkan saya! Maafkan saya!” Aku tersungkur-sungkur di kaki Kiai Husain. Aku memegangi dua tungkai kakinya yang kurus. Aku berusaha merendahkan kepalaku sedalam-dalamnya. Tetes- tetes air mata mulai menerjuni kedua tebing pipiku. “Maafkan saya, Kiai… Maafkan saya…” Aku terus-menerus mengulangi kalimat itu.

Dua tangan Kiai Husain memegang lengan kiri dan kananku, “Bangunlah,” katanya, “Aku sudah memaafkanmu.” “Tapi, Kiai…” Aku terus berusaha merendahkan diriku di hadapan Kiai Husain yang sedang berdiri, “Bagaimana mungkin semudah itu? Bagaimana mungkin semudah itu?” .

Kali ini Kiai Husain mencengkram kedua bahuku dan berusaha mengangkat tubuhku, “Berdirilah,” katanya, “Aku sudah memaafkanmu.” Dengan lunglai, aku berdiri. Aku terus menundukkan wajahku. “Bagaimana mungkin semudah itu, Kiai?” Aku terus mengulangi ketidakpercayaanku.

Kiai Husain tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepalanya. “Kau akan belajar dari semua ini,” katanya, “Apapun yang telah kau katakan tentangku, tak akan mengubah apapun dari diriku.”

Aku terus menundukkan kepalaku. Aku didera malu luar biasa oleh sosok yang dalam beberapa minggu belakangan bahkan beberapa bulan terakhir ini kujelek-jelekkan secara membabi-buta. Bukan hanya membicarakan hal-hal buruk darinya: kiai palsu lah, kiai partisan lah, kiai liberal lah—bahkan aku juga menyebarkan fitnah-fitnah keji tentangnya: Bahwa pesantrennya dibiayai cukong-cukong hitam, bahwa ia menganut aliran sesat, bahwa ia tak Ingin Islam maju, dan apapun saja yang bisa menjatuhkan harga diri dan nama baiknya.

Aku menatap Kiai Husain yang kini sedang merapikan beberapa kitab di rak-rak di ruang bacanya. Bagaimana mungkin selama ini aku tega menghina, menjelekkan dan memfitnahnya hanya gara- gara ia memiliki pilihan dan pendapat yang berbeda denganku

Padahal aku tahu hari-harinya dihabiskan untuk mempelajari ilmu agama, waktu luangnya diisi dengan membaca al-Quran dan mengerjakan ibadah-ibadah sunnah, dan kebaikan hatinya telah meringankan serta melapangkan banyak kesulitan orang-orang di sekelilingnya. Apalah aku ini dibandingkan kemuliaan dirinya? Siapalah aku ini dibandingkan keluhura budi pekertinya?

“Kiai, ajarkan saya sesuatu yang bisa menghapuskan kesalahan saya ini.” Aku berusaha menjaga nada bicaraku, tak ingin sedikitpun sekali lagi menyinggung perasaannya.

Kiai Husain terkekeh. “Apa kau serius?” Katanya. Aku menganggukkan kepalaku dengan penuh keyakinan. “Saya serius, Kiai. Saya benar-benar ingin menebus kesalahan saya.”

Kiai Husain terdiam beberapa saat. Ia tampak berfikir. Aku sudah membayangkan sebuah doa yang akan diajarkan Kiai Husain kepadaku, yang jika aku membacanya beberapa kali maka Allah akan mengampuni dosa-dosaku. Aku juga membayangkan sebuah laku, atau tirakat, atau apa saja yang bisa menebus kesalahan dan menghapuskan dosa-dosaku.

Beberapa jenak kemudian, Kiai Husain mengucapkan sesuatu yang benar-benar di luar perkiraanku. Di luar perkiraanku— “Apakah kau punya sebuah kemoceng di rumahmu?” Aku benar-benar heran Kiai Husain justru menanyakan sesuatu yang tidak relevan untuk permintaanku tadi.

“Maaf, Kiai?” Aku berusaha memperjelas maksud Kiai Husain. Kiai Husain tertawa, seperti Kiai Husain yang biasanya. Diujung tawanya, ia sedikit terbatuk. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, ia menghampiriku, “Ya, temukanlah sebuah kemoceng di rumahmu,” katanya.

Tampaknya Kiai Husain benar-benar serius dengan permintaannya. “Ya, saya punya sebuah kemoceng di rumah, Kiai. Apa yang harus saya lakukan dengan kemoceng itu?” Kiai Husain tersenyum. “Besok pagi, berjalanlah dari rumahmu ke pondokku,” katanya, “Berjalanlah sambil mencabuti bulu-bulu dari kemoceng itu. Setiap kali kau mencabut sehelai bulu, ingat-ingat perkataan burukmu tentang aku, lalu jatuhkan di jalanan yang kau lalui.”

Aku hanya bisa mengangguk. Aku tak akan membantahnya. Barangkali maksud Kiai Husain adalah agar aku merenungkan kesalahan-kesalahanku. Dan dengan menjatuhkan bulu-bulunya satu per satu, maka kesalahan-kesalahan itu akan gugur diterbangkan waktu…

“Kau akan belajar sesuatu darinya,” kata Kiai Husain. Ada senyum yang sedikit terkembang di wajahku.
Keesokan harinya, aku menemui Kiai Husain dengan sebuah kemoceng yang sudah tak memiliki sehelai bulupun pada gagangnya. Aku segera menyerahkan gagang kemoceng itu pada beliau.

“Ini, Kiai, bulu-bulu kemoceng ini sudah saya jatuhkan satu per satu sepanjang perjalanan. Saya berjalan lebih dari 5 km dari rumah saya ke pondok ini. Saya mengingat semua perkataan buruk saya tentang Kiai. Saya menghitung betapa luasnya fitnah-fitnah saya tentang Kiai yang sudah saya sebarkan kepada begitu banyak orang. Maafkan saya, Kiai. Maafkan saya…”

Kiai Husain mengangguk-angguk sambil tersenyum. Ada kehangatan yang aku rasakan dari raut mukanya. “Seperti aku katakan kemarin, aku sudah memaafkanmu. Barangkali kau hanya khilaf dan hanya mengetahui sedikit tentangku. Tetapi kau harus belajar sesuatu…,” katanya.

Aku hanya terdiam mendengar perkataan Kiai Husain yang lembut, menyejukkan hatiku. “Kini pulanglah…” kata Kiai Husain. Aku baru saja akan segera beranjak untuk pamit dan mencium tangannya, tetapi Kiai Husain melanjutkan kalimatnya, “Pulanglah dengan kembali berjalan kaki dan menempuh jalan yang sama dengan saat kau menuju pondokku tadi…” Aku terkejut mendengarkan permintaan Kiai Husain kali ini, apalagi mendengarkan “syarat” berikutnya: “Di sepanjang jalan kepulanganmu, pungutlah kembali bulu-bulu kemoceng yang tadi kaucabuti satu per satu. Esok hari, laporkan kepadaku berapa banyak bulu yang bisa kau kumpulkan.” Aku terdiam. Aku tak mungkin menolak permintaan Kiai Husain. “Kau akan mempelajari sesuatu dari semua ini,” tutup Kiai Husain.

Sepanjang perjalanan pulang, aku berusaha menemukan bulu-bulu kemoceng yang tadi kulepaskan di sepanjang jalan. Hari yang terik. Perjalanan yang melelahkan. Betapa sulit menemukan bulu-bulu itu. Mereka tentu saja telah tertiup angin, atau menempel di sebuah kendaraan yang sedang menuju kota yang jauh, atau tersapu ke mana saja ke tempat yang kini tak mungkin aku ketahui. Tapi aku harus menemukan mereka!
Aku harus terus mencari ke setiap sudut jalanan, ke gang- gang sempit, ke mana saja! Aku terus berjalan. Setelah berjam-jam, aku berdiri di depan rumahku dengan pakaian yang dibasahi keringat. Nafasku berat. Tenggorokanku kering. Di tanganku, kugenggam lima helai bulu kemoceng yang berhasil kutemukan di sepanjang perjalanan.

Hari sudah menjelang petang. Dari ratusan yang kucabuti dan kujatuhkan dalam perjalanan pergi, hanya lima helai yang berhasil kutemukan dan kupungut lagi di perjalanan pulang. Ya, hanya lima helai. Lima helai.
Hari berikutnya aku menemui Kiai Husain dengan wajah yang murung. Aku menyerahkan lima helai bulu kemoceng itu pada Kiai Husain. “Ini, Kiai, hanya ini yang berhasil saya temukan.” Aku membuka genggaman tanganku dan menyodorkannya pada Kiai Husain.

Kiai Husain terkekeh. “Kini kau telah belajar sesuatu,” katanya. Aku mengernyitkan dahiku. “Apa yang telah aku pelajari, Kiai?” Aku benar-benar tak mengerti. “Tentang fitnah-fitnah itu,” jawab Kiai Husain. Tiba-tiba aku tersentak. Dadaku berdebar. Kepalaku mulai berkeringat.

“Bulu-bulu yang kaucabuti dan kaujatuhkan sepanjang perjalanan adalah fitnah-fitnah yang kausebarkan. Meskipun kau benar-benar menyesali perbuatanmu dan berusaha memperbaikinya, fitnah-fitnah itu telah menjadi bulu-bulu yang beterbangan entah kemana. Bulu-bulu itu adalah kata-katamu. Mereka dibawa angin waktu ke mana saja, ke berbagai tempat yang tak mungkin bisa kau duga-duga, ke berbagai wilayah yang tak mungkin bisa kauhitung!”

Tiba-tiba aku menggigil mendengarkan kata-kata Kiai Husain. Seolah-olah ada tabrakan pesawat yang paling dahsyat di dalam kepalaku. Seolah-olah ada hujan mata pisau yang menghujam jantungku. Aku ingin menangis sekeras-kerasnya. Aku ingin mencabut lidahku sendiri.

“Bayangkan salah satu dari fitnah-fitnah itu suatu saat kembali pada dirimu sendiri… Barangkali kau akan berusaha meluruskannya, karena kau benar-benar merasa bersalah telah menyakiti orang lain dengan kata-katamu itu. Barangkali kau tak ingin mendengarnya lagi. Tetapi kau tak bisa menghentikan semua itu! Kata-katamu yang telah terlanjur tersebar dan terus disebarkan di luar kendalimu, tak bisa kau bungkus lagi dalam sebuah kotak besi untuk kau kubur dalam-dalam, sehingga tak ada orang lain lagi yang mendengarnya. Angin waktu telah mengabadikannya.”

“Fitnah-fitnah itu telah menjadi dosa yang terus beranak-pinak tak ada ujungnya. Agama menyebutnya sebagai dosa jariyah. Dosa yang terus berjalan diluar kendali pelaku pertamanya. Maka tentang fitnah-fitnah itu, meskipun aku atau siapapun saja yang kau fitnah telah memaafkanmu sepenuh hati, fitnah-fitnah itu terus mengalir hingga kau tak bisa membayangkan ujung dari semuanya. Bahkan meskipun kau telah meninggal dunia, fitnah-fitnah itu terus hidup karena angin waktu telah membuatnya abadi. Maka kau tak bisa menghitung lagi berapa banyak fitnah-fitnah itu telah memberatkan timbangan keburukanmu kelak.”
Tangisku benar-benar pecah. Aku tersungkur di lantai. “ Astagfirullah al-adzhim… Astagfirullahal- adzhim… Astagfirullah al-adzhim…” Aku hanya bisa terus mengulangi istighfar. Dadaku gemuruh. Air mata menderas dari kedua ujung mataku.

“Ajari saya apa saja untuk membunuh fitnah-fitnah itu, Kiai. Ajari saya! Ajari saya! Astagfirullahal-adzhim…” Aku terus menangis menyesali apa yang telah aku perbuat. Kiai Husain tertunduk. Beliau tampak meneteskan air matanya.“ Aku telah memaafkanmu setulus hatiku, Nak,” katanya, “Kini, aku hanya bisa mendoakanmu agar Allah mengampunimu, mengampuni kita semua. Kita harus percaya bahwa Allah, dengan kasih sayangnya, adalah zat yang maha terus menerus menerima taubat manusia… InnaLlaha tawwabur-rahiim…”

Aku disambar halilintar jutaan megawatt yang mengguncangkan batinku! Aku ingin mengucapkan sejuta atau semiliar istighfar untuk semua yang sudah kulakukan! Aku ingin membacakan doa- doa apa saja untuk menghentikan fitnah-fitnah itu! “Kini kau telah belajar sesuatu,” kata Kiai Husain, setengah berbisik.
Pipinya masih basah oleh air mata, “Fitnah-fitnah itu bukan hanya tentang dirimu dan seseorang yang kausakiti. Ia lebih luas lagi. Demikianlah, anakku, fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan”

_*“Dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan.”(QS Al-Baqarah:191).*_

-#####-

_*Share & bagikan apabila bermanfaat*_

Fitnah

*Meski Telah Kau Sesali, Fitnah Tak Dapat Kau Tarik Kembali*

Di suatu kesempatan “Kiai, maafkan saya! Maafkan saya!” Aku tersungkur-sungkur di kaki Kiai Husain. Aku memegangi dua tungkai kakinya yang kurus. Aku berusaha merendahkan kepalaku sedalam-dalamnya. Tetes- tetes air mata mulai menerjuni kedua tebing pipiku. “Maafkan saya, Kiai… Maafkan saya…” Aku terus-menerus mengulangi kalimat itu.

Dua tangan Kiai Husain memegang lengan kiri dan kananku, “Bangunlah,” katanya, “Aku sudah memaafkanmu.” “Tapi, Kiai…” Aku terus berusaha merendahkan diriku di hadapan Kiai Husain yang sedang berdiri, “Bagaimana mungkin semudah itu? Bagaimana mungkin semudah itu?” .

Kali ini Kiai Husain mencengkram kedua bahuku dan berusaha mengangkat tubuhku, “Berdirilah,” katanya, “Aku sudah memaafkanmu.” Dengan lunglai, aku berdiri. Aku terus menundukkan wajahku. “Bagaimana mungkin semudah itu, Kiai?” Aku terus mengulangi ketidakpercayaanku.

Kiai Husain tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepalanya. “Kau akan belajar dari semua ini,” katanya, “Apapun yang telah kau katakan tentangku, tak akan mengubah apapun dari diriku.”

Aku terus menundukkan kepalaku. Aku didera malu luar biasa oleh sosok yang dalam beberapa minggu belakangan bahkan beberapa bulan terakhir ini kujelek-jelekkan secara membabi-buta. Bukan hanya membicarakan hal-hal buruk darinya: kiai palsu lah, kiai partisan lah, kiai liberal lah—bahkan aku juga menyebarkan fitnah-fitnah keji tentangnya: Bahwa pesantrennya dibiayai cukong-cukong hitam, bahwa ia menganut aliran sesat, bahwa ia tak Ingin Islam maju, dan apapun saja yang bisa menjatuhkan harga diri dan nama baiknya.

Aku menatap Kiai Husain yang kini sedang merapikan beberapa kitab di rak-rak di ruang bacanya. Bagaimana mungkin selama ini aku tega menghina, menjelekkan dan memfitnahnya hanya gara- gara ia memiliki pilihan dan pendapat yang berbeda denganku

Padahal aku tahu hari-harinya dihabiskan untuk mempelajari ilmu agama, waktu luangnya diisi dengan membaca al-Quran dan mengerjakan ibadah-ibadah sunnah, dan kebaikan hatinya telah meringankan serta melapangkan banyak kesulitan orang-orang di sekelilingnya. Apalah aku ini dibandingkan kemuliaan dirinya? Siapalah aku ini dibandingkan keluhura budi pekertinya?

“Kiai, ajarkan saya sesuatu yang bisa menghapuskan kesalahan saya ini.” Aku berusaha menjaga nada bicaraku, tak ingin sedikitpun sekali lagi menyinggung perasaannya.

Kiai Husain terkekeh. “Apa kau serius?” Katanya. Aku menganggukkan kepalaku dengan penuh keyakinan. “Saya serius, Kiai. Saya benar-benar ingin menebus kesalahan saya.”

Kiai Husain terdiam beberapa saat. Ia tampak berfikir. Aku sudah membayangkan sebuah doa yang akan diajarkan Kiai Husain kepadaku, yang jika aku membacanya beberapa kali maka Allah akan mengampuni dosa-dosaku. Aku juga membayangkan sebuah laku, atau tirakat, atau apa saja yang bisa menebus kesalahan dan menghapuskan dosa-dosaku.

Beberapa jenak kemudian, Kiai Husain mengucapkan sesuatu yang benar-benar di luar perkiraanku. Di luar perkiraanku— “Apakah kau punya sebuah kemoceng di rumahmu?” Aku benar-benar heran Kiai Husain justru menanyakan sesuatu yang tidak relevan untuk permintaanku tadi.

“Maaf, Kiai?” Aku berusaha memperjelas maksud Kiai Husain. Kiai Husain tertawa, seperti Kiai Husain yang biasanya. Diujung tawanya, ia sedikit terbatuk. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, ia menghampiriku, “Ya, temukanlah sebuah kemoceng di rumahmu,” katanya.

Tampaknya Kiai Husain benar-benar serius dengan permintaannya. “Ya, saya punya sebuah kemoceng di rumah, Kiai. Apa yang harus saya lakukan dengan kemoceng itu?” Kiai Husain tersenyum. “Besok pagi, berjalanlah dari rumahmu ke pondokku,” katanya, “Berjalanlah sambil mencabuti bulu-bulu dari kemoceng itu. Setiap kali kau mencabut sehelai bulu, ingat-ingat perkataan burukmu tentang aku, lalu jatuhkan di jalanan yang kau lalui.”

Aku hanya bisa mengangguk. Aku tak akan membantahnya. Barangkali maksud Kiai Husain adalah agar aku merenungkan kesalahan-kesalahanku. Dan dengan menjatuhkan bulu-bulunya satu per satu, maka kesalahan-kesalahan itu akan gugur diterbangkan waktu…

“Kau akan belajar sesuatu darinya,” kata Kiai Husain. Ada senyum yang sedikit terkembang di wajahku.
Keesokan harinya, aku menemui Kiai Husain dengan sebuah kemoceng yang sudah tak memiliki sehelai bulupun pada gagangnya. Aku segera menyerahkan gagang kemoceng itu pada beliau.

“Ini, Kiai, bulu-bulu kemoceng ini sudah saya jatuhkan satu per satu sepanjang perjalanan. Saya berjalan lebih dari 5 km dari rumah saya ke pondok ini. Saya mengingat semua perkataan buruk saya tentang Kiai. Saya menghitung betapa luasnya fitnah-fitnah saya tentang Kiai yang sudah saya sebarkan kepada begitu banyak orang. Maafkan saya, Kiai. Maafkan saya…”

Kiai Husain mengangguk-angguk sambil tersenyum. Ada kehangatan yang aku rasakan dari raut mukanya. “Seperti aku katakan kemarin, aku sudah memaafkanmu. Barangkali kau hanya khilaf dan hanya mengetahui sedikit tentangku. Tetapi kau harus belajar sesuatu…,” katanya.

Aku hanya terdiam mendengar perkataan Kiai Husain yang lembut, menyejukkan hatiku. “Kini pulanglah…” kata Kiai Husain. Aku baru saja akan segera beranjak untuk pamit dan mencium tangannya, tetapi Kiai Husain melanjutkan kalimatnya, “Pulanglah dengan kembali berjalan kaki dan menempuh jalan yang sama dengan saat kau menuju pondokku tadi…” Aku terkejut mendengarkan permintaan Kiai Husain kali ini, apalagi mendengarkan “syarat” berikutnya: “Di sepanjang jalan kepulanganmu, pungutlah kembali bulu-bulu kemoceng yang tadi kaucabuti satu per satu. Esok hari, laporkan kepadaku berapa banyak bulu yang bisa kau kumpulkan.” Aku terdiam. Aku tak mungkin menolak permintaan Kiai Husain. “Kau akan mempelajari sesuatu dari semua ini,” tutup Kiai Husain.

Sepanjang perjalanan pulang, aku berusaha menemukan bulu-bulu kemoceng yang tadi kulepaskan di sepanjang jalan. Hari yang terik. Perjalanan yang melelahkan. Betapa sulit menemukan bulu-bulu itu. Mereka tentu saja telah tertiup angin, atau menempel di sebuah kendaraan yang sedang menuju kota yang jauh, atau tersapu ke mana saja ke tempat yang kini tak mungkin aku ketahui. Tapi aku harus menemukan mereka!
Aku harus terus mencari ke setiap sudut jalanan, ke gang- gang sempit, ke mana saja! Aku terus berjalan. Setelah berjam-jam, aku berdiri di depan rumahku dengan pakaian yang dibasahi keringat. Nafasku berat. Tenggorokanku kering. Di tanganku, kugenggam lima helai bulu kemoceng yang berhasil kutemukan di sepanjang perjalanan.

Hari sudah menjelang petang. Dari ratusan yang kucabuti dan kujatuhkan dalam perjalanan pergi, hanya lima helai yang berhasil kutemukan dan kupungut lagi di perjalanan pulang. Ya, hanya lima helai. Lima helai.
Hari berikutnya aku menemui Kiai Husain dengan wajah yang murung. Aku menyerahkan lima helai bulu kemoceng itu pada Kiai Husain. “Ini, Kiai, hanya ini yang berhasil saya temukan.” Aku membuka genggaman tanganku dan menyodorkannya pada Kiai Husain.

Kiai Husain terkekeh. “Kini kau telah belajar sesuatu,” katanya. Aku mengernyitkan dahiku. “Apa yang telah aku pelajari, Kiai?” Aku benar-benar tak mengerti. “Tentang fitnah-fitnah itu,” jawab Kiai Husain. Tiba-tiba aku tersentak. Dadaku berdebar. Kepalaku mulai berkeringat.

“Bulu-bulu yang kaucabuti dan kaujatuhkan sepanjang perjalanan adalah fitnah-fitnah yang kausebarkan. Meskipun kau benar-benar menyesali perbuatanmu dan berusaha memperbaikinya, fitnah-fitnah itu telah menjadi bulu-bulu yang beterbangan entah kemana. Bulu-bulu itu adalah kata-katamu. Mereka dibawa angin waktu ke mana saja, ke berbagai tempat yang tak mungkin bisa kau duga-duga, ke berbagai wilayah yang tak mungkin bisa kauhitung!”

Tiba-tiba aku menggigil mendengarkan kata-kata Kiai Husain. Seolah-olah ada tabrakan pesawat yang paling dahsyat di dalam kepalaku. Seolah-olah ada hujan mata pisau yang menghujam jantungku. Aku ingin menangis sekeras-kerasnya. Aku ingin mencabut lidahku sendiri.

“Bayangkan salah satu dari fitnah-fitnah itu suatu saat kembali pada dirimu sendiri… Barangkali kau akan berusaha meluruskannya, karena kau benar-benar merasa bersalah telah menyakiti orang lain dengan kata-katamu itu. Barangkali kau tak ingin mendengarnya lagi. Tetapi kau tak bisa menghentikan semua itu! Kata-katamu yang telah terlanjur tersebar dan terus disebarkan di luar kendalimu, tak bisa kau bungkus lagi dalam sebuah kotak besi untuk kau kubur dalam-dalam, sehingga tak ada orang lain lagi yang mendengarnya. Angin waktu telah mengabadikannya.”

“Fitnah-fitnah itu telah menjadi dosa yang terus beranak-pinak tak ada ujungnya. Agama menyebutnya sebagai dosa jariyah. Dosa yang terus berjalan diluar kendali pelaku pertamanya. Maka tentang fitnah-fitnah itu, meskipun aku atau siapapun saja yang kau fitnah telah memaafkanmu sepenuh hati, fitnah-fitnah itu terus mengalir hingga kau tak bisa membayangkan ujung dari semuanya. Bahkan meskipun kau telah meninggal dunia, fitnah-fitnah itu terus hidup karena angin waktu telah membuatnya abadi. Maka kau tak bisa menghitung lagi berapa banyak fitnah-fitnah itu telah memberatkan timbangan keburukanmu kelak.”
Tangisku benar-benar pecah. Aku tersungkur di lantai. “ Astagfirullah al-adzhim… Astagfirullahal- adzhim… Astagfirullah al-adzhim…” Aku hanya bisa terus mengulangi istighfar. Dadaku gemuruh. Air mata menderas dari kedua ujung mataku.

“Ajari saya apa saja untuk membunuh fitnah-fitnah itu, Kiai. Ajari saya! Ajari saya! Astagfirullahal-adzhim…” Aku terus menangis menyesali apa yang telah aku perbuat. Kiai Husain tertunduk. Beliau tampak meneteskan air matanya.“ Aku telah memaafkanmu setulus hatiku, Nak,” katanya, “Kini, aku hanya bisa mendoakanmu agar Allah mengampunimu, mengampuni kita semua. Kita harus percaya bahwa Allah, dengan kasih sayangnya, adalah zat yang maha terus menerus menerima taubat manusia… InnaLlaha tawwabur-rahiim…”

Aku disambar halilintar jutaan megawatt yang mengguncangkan batinku! Aku ingin mengucapkan sejuta atau semiliar istighfar untuk semua yang sudah kulakukan! Aku ingin membacakan doa- doa apa saja untuk menghentikan fitnah-fitnah itu! “Kini kau telah belajar sesuatu,” kata Kiai Husain, setengah berbisik.
Pipinya masih basah oleh air mata, “Fitnah-fitnah itu bukan hanya tentang dirimu dan seseorang yang kausakiti. Ia lebih luas lagi. Demikianlah, anakku, fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan”

_*“Dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan.”(QS Al-Baqarah:191).*_

-#####-

_*Share & bagikan apabila bermanfaat*_

Yang Berakhlaq Mulia

*YANG BERAKHLAQ MULIA*

*Yang berakhlaq itu...*
*Istri* yg tunduk patuh pada suami, yg senantiasa berseri2 saat dipandang , yg ridha terdiam saat suami marah. Tidak merasa lebih apalagi meninggikan suara. Tercantik di hadapan suami. Terharum saat menemani suami beristirahat. Tak menuntut keduniaan yg tidak mampu diberikan suaminya. Yang sadar bahwa ridha Allah ada pd ridha suaminya._

*Yang berakhlaq mulia itu...*
*Suami* yang mengerti bahwa istrinya bukan pembantu. Sadar tak melulu ingin dilayani. Malu jika menyuruh ini itu krn tahu istrinya sudah repot seharian urusan anak dan rumah. Yang tak berharap keadaan rumah lapang saat pulang krn sadar itulah resiko hadirnya amanah² yg masih kecil. Yang sadar pekerjaan rumah tangga juga kewajibannya. Yang rela mengerjakan pekerjaan rumah tangga krn rasa sayangnya thdp istrinya yg kelelahan._

*Yang berakhlaq itu...*
*Anak lelaki...*yang sadar bahwa ibunya yg paling berhak atas dirinya. Yang mengutamakan memperhatikan urusan ibunya. Yang lebih mencintai ibunya dibanding mencintai istri dan anak²nya. Yang sadar bahwa surganya ada pd keridhaan ibunya. Yang selalu menyisihkan penghasilannya untuk dibaktikan pada orang tuanya.

*Yang berakhlaq itu...* *Orang tua...* yang sadar bahwa anak perempuannya jika menikah sudah bukan lagi miliknya. Yang selalu menasehati untuk mentaati suaminya selama suaminya tidak menyuruhnya kpd perkara munkar. Yang sadar bahwa keridhaan Allah bagi anaknya telah berpindah pd ridha suaminya._

*Yang berakhlaq mulia itu...* _
*Seorang ibu...* Yang meskipun tahu surga berada di bawah telapak kakinya. Tapi tidak pernah sekalipun menyinggung hal tsb saat anaknya ada kelalaian thdnya. Yang selalu sadar bahwa mungkin segala kekurangan pd anak²nya adalah hasil didikannya yg salah selama ini. Yang sadar bahwa jika dirinya salah berucap atau do'a keburukan maka malaikat akan mengaminkan do'anya._

*Yang berakhlaq mulia itu...*
*Anak* yang senantiasa mendoakan kebaikan bagi orangtuanya dlm keheningan sepertiga malam terakhir. Meskipun sehari hari dlm kesibukan rumah tangganya. Dalam kesibukan usahanya. Dalam kesibukan pekerjaannya.

*Yang  berakhlaq mulia  itu...* _
*Orang-orang* yg saling memberikan nasehat dalam kebenaran dan kesabaran. y
Yang saling memberikan manfaat antar sesamanya. Yang saling memaklumi jika hal² di atas lupa atau lalai dilakukan sehingga saling memaafkan diantara mereka. Maka rahmat Allah berada di antara mereka._

*Ya Allah.*
*Dengan rahmat dan kemurahanMu Jadikan Sahabat sahabat kami di Group ini menjadi Istri, Suami, Orang tua, anak dan sahabat yg berakhlaq mulia. Yang hidup dan saling mensurgakan dunia dan akhirat.*

*Aamiin*